A. DEFINISI
Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler hemisfer dominan, trauma kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa tipe afasia, biasanya digolongkan sesuai lokasi lesi. Semua penderita afasia memperlihatkan keterbatasan dalam pemahaman, membaca, ekspresi verbal, dan menulis dalam derajat berbeda-beda.
Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah kerusakan otak. Dalam hal ini pasien menunjukkan gangguan dalam memproduksi dan / atau memahami bahasa
Afasia adalah gangguan fungsi bahasa yang disebapkan cedera atau penyakit pusat otak. Ini termasuk gangguan kemapuan membaca dan menulis dengan baik, demikian juga bercakap-cakap, mendengar berhitung, menyimpulkan dan pemahaman terhadap sikap tubuh. Akhirnya digunakan gambaran afasia yang diprsentasikan. Kira-kira 1-1,5 juta orang dewasa diamerika mengalami kecacatan kronik afasia.
1. AFASIA MOTORIK
Afasia Motorik terjadi karena kerusakan pada belahan otak yang dominan yang terletak pada lapisan permukaan (lesikortikal) daerah broca. Ada tiga macam afasia motorik yaitu :
Terjadi karena gudang penyimpanan sandi-sandi musnah sehingga menyebabkan tidak akan ada lagi perkataan yang dapat dikeluarkan.
- Afasia Motorik Subkortikal
Terjadi karena kerusakan pada bagian bawah lapisan korteks maka semua perkataan masih utuh didalam gu dang.Namun perkataan tidak dapat dikeluarkan karena hubungan terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat disampaikan, tapi melalui jalur lain tampaknya perintah untuk mengeluarkan perkataan masih dapat disampaikan denga ekspesi verbal dengan pancingan.
- Afasia Motorik Tarnskortikal
Terjadi karena terganggunnya hubungan antara daerah Broca dan Wernicke.
2. AFASIA SENSORIK
Afasia Sensorik terjadi karena adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan.
Afasia Sensorik adalah berdasarkan penyebabnya yaitu kehilangan pengertian bahasa lisan dan tulisan. Namun, dia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun orla. Curah verbal itu terdiri dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan, suatu bahasa, tetapi kebanyakan tidak sama/sesuai dengan perkataan bahasa apapun.
B. ETIOLOGI
Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah kerusakan otak. Kata afasia perkembangan (sering disebut sebagai disfasia) digunakan bila anak mempunyai keterlambatan spesifik dalam memperoleh kemampuan berbahasa. Dalam hal ini, perkembangan kemampuan berbahasa yang tidak sebanding dengan perkembangan kognitif umumnya.
Stroke, tumor otak, cedera otak, demensi dan penyakit lainnya dapat mengakibatkan gangguan berbahasa.
C. PATOFISIOLOGI
Afasia dapat terjadi sekunder terhadap cedera otak atau degenerasi dan melibatkan belahan otak kiri ke tingkat yang lebih besar dari kanan.. Fungsi Bahasa lateralizes ke kiri di belahan 96-99% orang kidal dan 60% dari orang kidal. Orang kidal yang tersisa, sekitar satu setengah belahan bumi memiliki dominasi bahasa campuran, dan sekitar satu setengah memiliki belahan kanan dominasi individu Waktu-tangan. Dapat mengembangkan afasia setelah lesi baik dari belahan bumi, tetapi gejala dari cedera otak kiri mungkin lebih ringan atau lebih selektif daripada yang terlihat pada orang kidal. Kebanyakan aphasias dan gangguan terkait akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit degeneratif. Substrat neuroanatomic pemahaman bahasa dan produksi yang kompleks, termasuk input auditori dan bahasa decoding dalam lobus temporal superior, analisis pada lobus parietal, dan ekspresi dalam lobus frontal, turun melalui saluran corticobulbar ke kapsul internal dan otak, dengan modulatory efek dari ganglia basal dan serebelum.
D. TANDA DAN GEJALA
1. Gangguan tonus otot, terjadi kelemahan umum
2. Gangguan penglihatan
3. Gangguan tingkat kesadaran
4. Disritmia/gangguan irama jantung
5. Emosi yang labil
6. Kesulitan menelan
7. Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
8. Afasia (gangguan fungsi bahasa), mungkin afasia motorik (kesulitan untuk mengungkapkan.
E. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar bila bicara spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata yang diinginkan.
2) Kelancaran berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata. Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus ilnpat dideteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang ringan iiImii pada demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes knlnncaran, menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat dlproduksi selama jangka waktu yang terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama jangka waktu satu menit, ulnu menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S atau huruf B dalam satu menit.
Menyebutkan nama hewan : Pasien disuruh menyebutkan sebanyak mungkin nama hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan yang ada, misalnya parafasia. Skor : Orang normal umumnya mampu menyebutkan 18 – 20 nama hewan selama 60 detik, dengan variasi I 5 – 7.
Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam tugas ini. Orang normal yang berusia di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan 20 nama hewan dengan simpang baku 4,5.
Kemampuan ini menurun menjadi 17 (+ 2,8) pada usia 70-an, dan menjadi 15,5 (± 4,8) pada usia 80-an. Bila skor kurang dari 13 pada orang normal di bawah usia 70 tahun, perlu dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran berbicara verbal. Skor yang dibawah 10 pada usia dibawah 80 tahun, sugestif bagi masalah penemuan kata. Pada usia 85 tahun skor 10 mungkin merupakan batas normal bawah.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien dapat juga diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S, A atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama kota. Skor: Orang normal umumnya dapat menyebutkan sebanyak 36 – 60 kata, tergantung pada usia, inteligensi dan tingkat pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk tiap huruf di atas merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal. Namun kita harus hati-hati monginterpretasi tes ini pada pasien dengan tingkat pendidikan tidak melebihi tingkat Sekolah Menengah Pertama.
Pemeriksaan Pemahaman (Komprehensi) Bahasa Lisan
Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dlnllal Pemeriksaan klinis disisi-ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah terakhir dapat digunakan untuk mengevaluasi pemahaman (komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara konversasi, suruhan, pilihan (ya atau tidak), dan menunjuk.
Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh pemeriksa.
Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (Satu langkah) sampai pada yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien memahami. Mula-mula suruh pasien bertepuk tangan, kemudian tingkatkan kesulitannya, misalnya: mengambil pinsil, letakkan di kotak dan taruh kotak di atas kursi (suruhan ini dapat gagal pada pasien dengan apraksia dan gangguan motorik, walaupun pemahamannya baik; hal ini harus diperhatikan oleh pemeriksa).
Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya kunci, duit, arloji, vulpen, geretan. Suruh pasien menunjukkan salah sntu benda tersebut, misalnya arloji. Kemudian suruhan dapat dlpermilit, misalnya: tunjukkan jendela, setelah itu arloji, kemudian vulpen. Pasion tanpa afasia dengan tingkat inteligensi yang rata-rata mampu menunjukkan 4 atau lebih objek pada suruhan yang beruntun. Pasien dengan Afasia mungkin hanya mampu menunjuk sampai 1 atau 2 objek saja. Jadi, pada pemeriksaan ini pemeriksa (dokter) menambah jumlah objek yang hams ditunjuk, sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.
Ya atau tidak. Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan yang dijawab dengan “ya” atau “tidak”. Mengingat kemungkinan salah ialah 50%, jumlah pertanyaan harus banyak, paling sedikit 6 pertanyaan, misalnya :
“Andakah yang bernama Santoso?”
“Apakah AC dalam ruangan ini mati ?”
“Apakah ruangan ini kamar di hotel ?”
“Apakah diluar sedang hujan?”
“Apakah saat ini malam hari?”
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan kemudian meningkat pada yang lebih sulit. Misalnya: “tunjukkan lampu”, kemudian “tunjukkan gelas yang ada disamping televisi”.
Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang, kurang mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali, namun dapat memberikan gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi anatomis dengan komprehensi adalah kompleks.
Pemeriksaan Repetisi (Mengulang)
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang, mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu kalimat). Jadi, kita ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien disuruh mengulanginya.
Cara Pemeriksaan
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa.Mula-mula sederhana kemudian lebih sulit. Contoh:
- Map
- Bola
- Kereta
- Rumah Sakit
- Sungai Barito
- Lapangan Latihan
- Kereta api malam
- Besok aku pergi dinas
- Rumah ini selalu rapi
- Sukur anak itu naik kelas
- Seandainya si Amat tidak kena influensa
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan parafasia, salah tatabahasa, kelupaan dan penambahan.
Orang normal umumnya mampu mengulang kalimat yang mengandung 19 suku-kata.
Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang (repetisi), namun ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal mengulang, dan sering lebih baik daripada berbicara spontan.
Umumnya dapat dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan kemampuan mengulang mempunyai kelainan patologis yang melibatkan daerah peri-sylvian. Bila kemampuan mengulang terpelihara, maka daerah -sylvian bebas dari kelainan patologis.
Umumnya daerah ekstra-sylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa defek repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler (area water-shed).
Pemeriksaan Menamai Dan Menemukan Kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa. Hal ini sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian, semua tes yang digunakan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama (menamai) dan hal ini disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol matematik atau nama suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan aitem yang sering digunakan (misalnya sisir, arloji) dan yang jarang ditemui atau digunakan (misalnya pedang). Banyak penderita afasia yang masih mampu menamai objek yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan tertegun, dengan sirkumlokusi (misalnya, melukiskan kegunaannya) atau parafasia pada objek yang jarang dijumpainya.
Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu dengan memberikan suku kata pemula atau dengan menggunakan kalimat penuntun. Misalnya: pisau. Kita dapat membantu dengan suku kata pi Atau dengan kalimat: “kita memotong daging dengan “. Yang penting kita nilai ialah sampainya pasien pada kata yang dibutuhkan, kemampuannya (memberi nama objek). Ada pula pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya (sirkumlokusi) namun tidak dapat menamainya. Misalnya bila ditunjukkan kunci ia mengatakan : “Anu … itu…untuk masuk rumah…kita putar”.
Cara pemeriksaan. Terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan nama beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut. Kita dapat menilai dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata, kemudian bagian dari arloji (jarum menit, detik), lensa kaca mata. Objek atau gambar objek berikut dapat digunakan: Objek yang ada di ruangan: meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh: mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut Warna: merah, biru, hijau, kuning, kelabu. Bagian dari objek: jarum jam, lensa kaca mata, sol sepatu, kepala ikat pinggang, bingkai kaca mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau lamban atau tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme dan apakah ada perseverasi. Disamping meng gunakan objek, dapat pula digunakan gambar objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia memilih nama objek tersebut dari antara beberapa nama objek.Gunakanlah sekitar 20 objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.
Area bahasa di posterior ialah area kortikal yang terutama bertugas memahami bahasa lisan. Area ini biasa disebut area Wernicke; mengenai batasnya belum ada kesepakatan. Area bahasa bagian frontal berfungsi untuk produksi bahasa. Area Brodmann 44 merupakan area Broca.
Penelitian dengan PET (positron emission tomography) tentang meta-bolisme glukosa pada penderita afasia, menyokong spesialisasi regional tugas ini. Namun demikian, pada hampir semua bentuk afasia, tidak tergantung pada jenisnya, didapat pula bukti adanya hipometabolisme di daerah temporal kiri. Penelitian ini memberi kesan bahwa sistem bahasa sangat kompleks secara anatomi-fisiologi, dan bukan merupakan kumpulan dari pusat-pusat kortikal dengan tugas-tugas terbatas atau terpisah-pisah atau sendiri-sendiri.
Pemeriksaan Sistem Bahasa
Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi (pemahaman), repetisi (mengulang) dan menamai (naming).
Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa lisan. Selain itu, perlu pula diperiksa sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan tangan (kidal atau kandal).Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang singkat dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu agrafia dan sering aleksia, dengan demikian pengetesan membaca dan menulis dapat dipersingkat. Namun demikian, pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan menulis harus dilakukan sepenuhnya, karena aleksa atau agrafia atau keduanya dapat terjadi terpisah (tanpa afasia).
Pemeriksaan Penggunaan Tangan (Kidal Atau Kandal)
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat Sebelum menilai bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan tangan. Mula-mula tanyakan kepadn p irsion apakah ia kandal (right handed) atau kidal. Banyak orang kidal telah illnjarkan sejak kecil untuk menulis dengan tangan kanan. Dengan ilcmikian, mengobservasi cara menulis saja tidak cukup untuk menentukan npakah seseorang kandal atau kidal. Suruh pasien memperagakan tangan mana yang digunakannya untuk memegang pisau, melempar bola, dsb.
Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungannya menggunakan tangan yang lainnya. Spektrum penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat; kanan sedikit lebih kuat dari kiri; kiri sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang kuat. Ada individu yang kecenderungan kandal dan kidalnya hampir sama (ambi-dextrous)
Pemeriksaan berbicara – spontan
Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan bagaimana pasien berbicara spontan atau bercerita. Dengan mendengnrknn pasien berbicara spontan atau bercerita, kita dapat memperoleh data yang sangat berharga mengenai kemampuan pasien berbahasa. Cara Ini tidak kalah pentingnya dari tes-tes bahasa yang formal.
Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui pertanyaan berikut : Coba ceriterakan kenapa anda sampai dirawat di rumah sakit. Coba ceritakan mengenai pekerjaan anda serta hobi anda.
Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:
Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme,
intonasi bicara terganggu). Pada afasia sering ada gangguan ritme dan
irama (disprosodi).
Apakah ada afasia, kesalahan sintaks, salah menggunakan kata
(parafasia, neologisme), dan perseverasi. Perseverasi sering dijumpai
pada afasia.
Parafasia. Parafasia ialah men-substitusi kata. Kita mengenai 2 jenis parafasia, yaitu parafasia semantik (verbal) dan parafasia fonomik (literal). Parafasia semantik ialah mensubstitusi satu kata dengan kata yang lain misalnya: “kucing” dengan “anjing”. Parafasia fonemik, ialah mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi yang lain, misalnya bir dengan kir, balon dengan galon.
Afasia motorik yang berat biasanya mudah dideteksi. Pasien berbicaranya sangat terbatas atau hampir tidak ada; mungkin ia hanya mengucapkan: “ayaa, ayaa, aaai, Hi”.
Sesekali ditemukan kasus dimana pasien sangat terbatas kemampuan bicaranya, namun bila ia marah, beremosi tinggi, keluar ucapan makian yang cara mengucapkannya cukup baik.
Afasia ialah kesulitan dalam memahami dan/atau memproduksi bahasa yang disebabkan oleh gangguan (kelainan, penyakit) yang melibatkan hemisfer otak.
Didapatkan berbagai jenis afasia, masing-masing mempunyai pola abnormalitas yang dapat dikenali, bila kita berbincang dengan pasien serta melakukan beberapa tes sederhana.
Pada Semua Pasien Dengan Afasia Didapatkan Juga Gangguan Membaca Dan Menulis (Aleksia Dan Agrafia)
Pada afasia semua modalitas berbahasa sedikit-banyak terganggu, yaitu bicara spontan, mengulang (repetisi), namai (naming), pemahaman bahasa, membaca dan menulis.
Pada lesi di frontal, pasien tidak bicara atau sangat sedikit bicara, dan mengalami kesulitan atau memerlukan banyak upaya dalam berbicara. Selain itu gramatikanya miskin (sedikit) dan menyisipkan atau mengimbuh huruf atau bunyi yang salah, serta terdapat perseverasi. Pasien sadar akan kekurangan atau kelemahannya. Pemahaman terhadap bahasa lisan dan tulisan kurang terganggu dibandingkan dengan kemampuan mengemukakan isi pikiran. Menulis sering tidak mungkin atau sangat terganggu, baik motorik menulis maupun isi tulisan.
Pada lesi di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu banyak, cara mengucapkan baik dan irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan berat pada, mem-formulasi dan menamai sehingga kalimat yang diucapkan tidak mempunyai arti. Bahasa fisan dan tulisan tidak atau kurang difahami, dan menulis secara motorik terpelihara, namun isi tulisan tak menentu. Pasien tidak begitu sadar akan kekurangannya.
Afasia jenis yang disebutkan pertama disebut afasia Broca, atau afasia motorik atau afasia ekspresif. Afasia jenis ke dua disebut jenis Wernicke atau sensorik atau reseptif.
Kadang dijumpai pasien dengan gangguan yang berat pada semua modalitas bahasa. Pasien sama sekali tidak bicara atau hanya bicara sepatah kata atau frasa, yang selalu diulang-ulang, dengan artikulasi (pengucapan) dan irama yang buruk dan tidak bermakna.
Hal ini disebut afasia global. Lesi biasanya melibatkan semua daerah bahasa di sekitar fisura sylvii.
Kadang afasia ditandai oleh kesulitan menemukan nama, sedangkan modalitas lainnya relatif utuh. Pasien mengalami kesulitan menamai sesuatu benda. Pada pasien demikian kita dengar ungkapan seperti : “anu, itu, kau, kau tahu kan, ya anu itu”. Afasia amnestik ini sering merupakan sisa afasia yang hampir pulih, pada afasia yang tersebut terdahulu, namun dapat juga dijumpai pada berbagai gangguan otak yang difus. Afasia amnestik mempunyai nilai lokalisasi yang kecil.
Adakalanya digunakan kata afasia campuran. Sebetulnya kata ini kurang tepat, karena di klinik semua jenis afasia adalah campuran, hanya bidang tertentu lebih menonjol atau lebih berat.
Berbagai tes wawabcara, membaca, menulis, menggambar, ataupunmelakukan tugas-tugas tertentu bias digunakan untuk mengetahui terjadinya kerusakan otak, dan tinggal dicocokkan dengan pemeriksaan CT-Scan pada otak. Pemeriksaan ini sangat penting untuk terapi dan rehabilitasi pasien\.
F. PENATALAKSANAAN
Meningkatkan harga diri positif. Pasien afasia harus diberi banyak pengaman pisikologis bila memungkikan. Kesabaran dan pengertian dibutuhkan sekali pada saat pasien belajar. Dan pasien diperlakukan sebagai orang dewasa. Suatu tindakan dengan cara yang tidak terburu-buru, dikombinasi dengan dorongan, kesabaran, dan keinginan untuk menyediakan waktu. Pembelajaran ulang wicara dan keterampilan bahasa memerlukan waktu beberapa tahun.
Indipidu afasia mengalami defresi akibat ketidak mampuan bercakap-cakap dengan orang lain. Tidak dapat berbicara melalui telpon atau menjawab pertanyaan, atau mengungkapkan diri melalui percakapan menyebapkan marah, frustasi, takut tentang masa depan, dan perasaan hilangnya harapan.
Dokter harus menerima tingkah laku pasien dan perasaannya, mengurangi keadaan yang memalukan dan memberi dukungan serta menjamin bahwa tidak ada yang salah dengan integrensi mereka. Biasanya kesukaran bagi dokter dan anggota tim pelayanan kesehatan lainnya adalah melengkapi pikiran dan kalimat pasien. Hal ini harus dihindari bila menyebapkan pasien merasa lebih frustasi pada saat tidak dapat mengikuti pembicaraan, dan dapat menunda upaya-upaya untuk latihan yang juga menggunakan pikiran dan menunda upaya membuat kalimat lengkap.
Lingkungan harus tenang dan serba membolehkan, dan pasien harus dianjurkan untuk bersosialisasi dengan keluarga dan teman-teman. Individu afasia sering mengalami gangguan dalam berpikir dengan nyata, sehingga perawat dan anggota keluarga harus mengembalikan alat-alat diruangan pada tempat yang seharusnya.
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi. Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi, pasien afasia perlu dipimpin dalam upaya-upaya mereka untuk meningkatkan keterampilan komunikasi. Keterampilan mendengar dan juga berbicara ditekankan pada program rehabilitas. Pasien juga dapat dibantu dengan papan komunikasi, yang menampilkan gambar-gambar, sesuai kebutuhan yang diminta dan diungkapkan. Papan ini dapat menerjemahkan kedalam bahasa yang luas. Pasien harus dianjurkan untuk mengungkapkan kebutuhan pribadi dan menggunakan papan tulis bila tidak mampu mengekspresiakan kebutuhan.
Meningkatkan Stimulasi Pendengaran. Pertama pasien dianjurka untuk mendengar. Berbicara adalah berpikir keras, dan penekanannya adalah berfikir. Pasien harus berpikir dan menyusun pesan-pesan yang masuk dan merumuskan suatu respons. Mendengar membutuhkan upaya mental, namun pasien berjuang melawan kebosanan dan membutuhkan waktu untuk mengatur jawaban.
Dalam bekerjasama dengan pasien afasia, dokter harus ingin untuk berbicara pada pasien sambil memperhatikan pada pasien tersebut. Berikan konta sosial tehadap pasien.
Membantu Koping Keluarga. Menolong keluarga melakukan koping terhadap perubahan gaya hidup yang tidak dapat dicegah, diselesaikan dengan membicarakannya tentang stroke atau cedera kepala